Di Indonesia, permulaan munculnya Madrasah baru sekitar abab 20, meski demikian latar belakang berdirinya madrasah tidak lepas dari dua faktor, yaitu semangat pembaharuan Islam yang berasal dari islam pusat(timur Tengah) dan merupakan respon pendidikan terhadap kebijakaan pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan serta mengembangkan sekolah. Hal ini juga diamini oleh M. Arsyad yang dikutip Khoirul Umam, munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dikarenakan kekhawatiran terhadap pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan sekolah-sekolah umum tanpa dimasukkan pelajaran dan pendidikan agama Islam. Pemerintah Kolonial menolak eksistensi pondok pesantren dalam sistem pendidikan yang hendak dikembangkan di Hindia Belanda. Kurikulum maupun metode pembelajaran keagamaan yang dikembangkan di pondok pesantren bagi pemerintah kolonial, tidak kompatibel dengan kebijakan politik etis dan modernisasi di Hindia Belanda. Di balik itu, pemerintah kolonial mencurigai peran penting pondok pesantren dalam mendorong gerakan-gerakan nasionalisme dan prokemerdekaan di Hindia Belanda.
Menyikapi kebijakan tersebut, tokoh-tokoh muslim di Indonesia akhirnya
mendirikan dan mengembangkan madrasah di Indonesia didasarkan pada tiga
kepentingan utama, yaitu: 1) penyesuaian dengan politik pendidikan pemerintah
kolonial; 2) menjembatani perbedaan sistem pendidikan keagamaan dengan sistem
pendidikan modern; 3) agenda modernisasi Islam itu sendiri.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional telah mengantarkan pendidikan Islam ke dalam babak sejarah baru, yang
antara lain ditandai dengan pengukuhan sistem pendidikan Islam sebagai pranata
pendidikan nasional. Lembaga-lembaga pendidikan Islam kini memiliki peluang
lebih besar untuk tumbuh dan berkembang serta meningkatkan kontribusinya dalam
pembangunan pendidikan nasional. Di dalam Undang-Undang itu setiap kali
disebutkan sekolah, misalnya pada jenjang pendidikan dasar yaitu sekolah dasar,
selalu dikaitkan dengan madrasah ibtidaiyah, disebutkan sekolah menengah
pertama dikaitkan dengan madrasah tsanawiyah, disebutkan sekolah menengah
dikaitkan dengan madrasah aliyah, dan lembaga-lembaga pendidikan lain yang
sederajat, begitu pula dengan lembaga pendidikan non formal.
Madrasah yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki kiprah
panjang dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan madrasah merupakan
bagian dari pendidikan nasional yang memiliki kontribusi tidak kecil dalam
pembangunan pendidikan nasional atau kebijakan pendidikan nasional. Madrasah
telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam proses pencerdasan
masyarakat dan bangsa, khususnya dalam konteks perluasan akses dan pemerataan
pendidikan. Dengan biaya yang relatif murah dan distribusi lembaga yang
menjangkau daerah-daerah terpencil, madrasah membuka akses atau kesempatan yang
lebih bagi masyarakat miskin dan marginal untuk mendapatkan pelayanan
pendidikan. Walau demikian para penulis sejarah pendidikan Islam di Indonesia
agaknya sepakat dalam menyebut beberapa madrasah pada periode pertumbuhan,
khususnya di wilayah Sumatera dan Jawa. Mahmud Yunus memasukkan ke dalam
madrasah kurun pertumbuhan ini antara lain Adabiah School (1909) dan Diniah
School Labai al-Yunusi (1915) di Sumatera Barat, Madrasa Nahdlatul Ulama di
Jawa Timur, Madrasah Muhammadiyah di Yogyakarta, Madrasah Tasywiq Thullab di
Jawa Tengah, Madrasah Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, Madrasah Jami’atul
Khair di Jakarta, Madrasah Amiriah Islamiyah di Sulawesi dan Madrasah
Assulthaniyah di Kalimantan.
Kontribusi Madrasah terhadap Indonesia kajian historis dan visioner
Salah satu pilar pendidikan nasional adalah perluasan dan pemerataan akses
pendidikan. Upaya perluasan dan pemerataan akses pendidikan yang ditujukan
dalam upaya perluasan daya tampung satuan pendidikan dengan mengacu pada skala
prioritas nasional yang memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh peserta
didik dari berbagai golongan masyarakat yang beraneka ragam baik secara sosial,
ekonomi, gender, geografis, maupun tingkat kemampuan intelektual dan kondisi
fisik. Perluasan dan pemerataan akses memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
bagi penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka
peningkatan daya saing bangsa di era globalisasi.
Pendirian madrasah oleh para pemuka muslim di berbagai pelosok negeri
memainkan peranan yang sangat penting dalam membuka akses bagi masyarakat
miskin dan terpencil untuk memperoleh layanan pendidikan. Komitmen moral ini
dalam kenyataan tidak pernah surut, sehingga secara kelembagaan madrasah terus
mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga sekarang. Berdasarkan statisik
pendidikan Islam tahun 2007, laju pertumbuhan madrasah dalam lima tahun
terakhir mencapai rata-rata kisaran 3% per tahun dan lebih dari 50% madrasah
berada di luar Jawa yang terdistribusi di daerah pedesaan.Sumbangan madrasah
dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan tergambar secara jelas
dalam jumlah penduduk usia sekolah yang menjadi peserta didik madrasah. Pada
tahun 2007, jumlah seluruh peserta madrasah pada semua jenjang pendidikan
sebesar 6.075.210 peserta didik. Adapun Angka Partisipasi Kasar (APK) madrasah
terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada masing-masing tingkatan adalah 10,8%
MI, 16,4% MTs, dan 6,0% MA. Kontribusi APK tersebut tersebar berasal dari
madrasah swasta pada masing-masing tingkatan.
Sumbangan lain dari madrasah dalam pembangunan pendidikan nasional adalah
dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun.
Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pendidikan madrasah
dikembangkan melalui Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Jumlah MI sebanyak 22.610 buah dengan 3.050.555 peserta didik. Jumlah MTs
sebanyak 12.498 buah dengan 2.531.656 peserta didik. Jumlah peserta didik dalam
program wajib belajar pendidikan sembilan tahun terdiri dari 47,2% peserta
didik MI dan 31,8 peserta didik MTs. Sisanya 21,0% peserta didik/santri pondok
pesantren salafiah. Kontribusi madrasah terhadap penuntasan wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun cukup lumayan besar mencapai 17%. Meskipun
belum tercapai, namun diharapkan sampai tahun 2009 dapat dituntaskan. Kriteria
tuntas adalah angka partisipasi kasar (APK) mengikuti pendidikan SMP atau
Madrasah Tsanawiyah mencapai 95%. Sampai tahun 2008 baru mencapai sekitar
92,3%. Angka sisanya yaitu sekitar 2,7 % diharapkan pada tahun 2009 dapat
dicapai angka partisipasi kasar pendidikan dasar sembilan tahun hingga 95%.
Artinya wajib belajar pendidikan dasar pendidikan dasar sembilan tahun itu
dianggap tuntas, meskipun 95% masih ada sisanya 5%. Angka 5% dari 50 juta anak
usia sekolah bisa dikatakan lumayan banyak yang tercecer, tetapi bisa dianggap
selesai. Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan termasuk Madrasah Aliyah,
kontribusi madrasah dari mulai MI sampai MA terhadap angka partisipasi
mengikuti pendidikan di berbagai jenjang pendidikan secara agregat atau secara
keseluruhan itu bisa mencapai 21%. Bukan angka sedikit 21% dari sekitar 60 juta
penduduk. Artinya masyarakat terutama madrasah telah memberikan andil pada
upaya-upaya pemerintah menyediakan lembaga-lembaga pendidikan yang cukup besar.
Di samping kenaikan APK, indikator lain dari percepatan penuntasan program
wajib belajar sembilan tahun adalah semakin menurunnya angka drop out pada
tahun 2006 sebesar 0,6 % menjadi 0,4 % pada tahun 2007 untuk MI dan untuk MTs
sebesar 1,06 % pada tahun 2006 menjadi 1,02 % pada tahun 2007. Pada tahun 2008
angka drop out pada MI dan MTs diperkirakan turun 1,04 % sedangkan APK pada MI
dan MTs masing-masing mencapai 14,75 % dan 20,70 %.
Peran penting dalam rangka perluasan akses masyarakat dari kelompok marginal
tampak secara jelas dari latar belakang keluarga peserta didiknya. Berdasarkan
Statistik Pendidikan Islam Tahun 2007, lebih dari 92,7% orang tua peserta didik
madrasah berpendidikan sederajat atau kurang dari SLTA dengan pekerjaan utama
sebagai petani, nelayan, dan buruh (58,0%). Sejalan dengan kondisi ini, 85%
berpenghasilan kurang dari Rp. 1 juta per bulan.Gambaran kondisi orang tua
peserta didik tersebut menunjukkan bahwa madrasah memiliki aksessibilitas yang
tinggi terhadap peserta didik dengan latar belakang keluarga masyarakat yang
miskin secara ekonomi.
Aksessibilitas madrasah bagi kelompok marginal juga tercermin pada aspek
kultural, yaitu perannya yang penting dalam gender mainstreaming bidang
pendidikan berkenaan dengan komposisi peserta didiknya yang sebagian besar kaum
perempuan. Realitas ini adalah prakondisi yang baik bagi pengembangan
pendidikan Islam berwawasan gender dan juga sekaligus menepis tudingan berbagai
kalangan bahwa sikap dan pandangan keagamaan umat Islam cenderung diskriminatif
terhadap perempuan.
Isu- isu eksistensi dan implikasinya
Dalam perkembangannya, sistem pendidikan Islam madrasah sudah tidak
menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan Islam
pesantren. Karena di lembaga pendidikan madrasah ini sudah mulai dimasukkan
pelajaran-pelajaran umum seperti sejarah ilmu bumi, dan pelajaran umum lainnya.
Sedangkan metode pengajarannya pun sudah tidak lagi menggunakan sistem halaqah,
melainkan sudah mengikuti metode pendidikan moderen barat, yaitu dengan
menggunakan ruang kelas, kursi, meja, dan papan tulis untuk proses belajar
mengajar. Melihat kenyataan sejarah, kita tentunya bangga dengan sistem dan
lembaga pendidikan Islam madrasah yang ada di Indonesia. Apalagi dengan metode
dan kurikulum pelajarannya yang sudah mengadaptasi sistem pendidikan serta
kurikulum pelajaran umum. Peran dan kontribusi madrasah yang begitu besar itu
pada gilirannya—sejak awal kemerdekaan—sangat terkait dengan peran Departemen
Agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara
intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usaha
Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat
Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada
pengembangan madrasah itu sendiri. Perkembangan serta kemajuan pendidikan Islam
terus meningkat secara signifikan. Hal itu dapat dilihat misalnya pada
pertengahan dekade 60-an, madrasah sudah tersebar di berbagai daerah di hampir
seluruh propinsi Indonesia. Dilaporkan bahwa jumlah madrasah tingkat rendah
pada masa itu sudah mencapai 13.057. dengan jumlah ini, sedikitnya 1.927.777
telah terserap untuk mengenyam pendidikan agama. Laporan yang sama juga
menyebutkan jumlah madrasah tingkat pertama (tsanawiyah) yang mencapai 776 buah
dengan jumlah murid 87.932. Adapun jumlah madrasah tingkat Aliyah diperkirakan mencapai
16 madrasah dengan jumlah murid 1.881. Dengan demikian, berdasarkan laporan
ini, jumlah madrasah secara keseluruhan sudah mencapai 13.849 dengan jumlah
murid sebanyak 2.017.590. Perkembangan ini menunjukkan bahwa sudah sejak awal,
pendidikan madrasah memberikan sumbangan yang signifikan bagi proses
pencerdasan dan pembinaan akhlak bangsa.
Dalam pada itu, meskipun pemerintah melalui departemen agama sudah banyak
melakukan perubahan dan perumusan kebijakan di sana-sini untuk memajukan
madrasah, namun itu belum terlalu berhasil jika dibandingkan dengan
sekolah-sekolah umum yang dalam hal ini dikelola oleh departemen
pendidikan.Karena realitasnya, masyarakat hingga periode 90-an masih mempunyai
sense of interest yang tinggi untuk masuk ke sekolah-sekolah umum yang
dinilainya mempunyai prestise yang lebih baik daripada madrasah / sekolah Islam
(Islamic School). Lebih dari itu, dengan masuk ke sekolah-sekolah umum, masa
depan siswa akan lebih terjamin ketimbang masuk ke madrasah atau sekolah Islam.
Hal itu bisa jadi disebabkan oleh image yang menggambarkan lulusan-lulusan
madrasah tidak mampu bersaing dengan lulusan-lulusan dari sekolah-sekolah umum.
Lulusan madrasah hanya mampu menjadi seorang guru agama atau ustdaz. Sedangkan
lulusan dari sekolah umum mampu masuk ke sekolah-sekolah umum yang lebih
bonafide dan mempunyai jaminan lapangan pekerjaan yang pasti.Dalam konteks
kekinian, image madrasah atau sekolah Islam telah berubah. Madrasah sekarang
tidak lagi menjadi sekolah Islam yang hanya diminati oleh masyarakat kelas
menengah ke bawah. Melainkan sudah diminati oleh siswa-siswa yang berasal dari
masyarakat golongan kelas menengah ke atas. Hal itu disebabkan sekolah-sekolah
Islam atau madrasah elit yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum sudah banyak
bermunculan. Diantara madrasah atau sekolah Islam itu adalah; Madrasah
Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam al-Azhar, Sekolah Islam al-Izhar,
Sekolah Islam Insan Cendekia, Madania School, dan lain sebagainya.
Sebelum mengalami perkembangan seperti sekarang ini, madrasah hanya
diperuntukkan bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun sejak
mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen yang berasal dari Barat sambil tetap
mempertahankan yang sudah ada dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung
iklim pembelajaran siswa dan pengajaran siswa, madrasah (atau sekolah Islam)
sekarang sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke atas.
Apalagi madrasah sekarang ini sudah banyak yang menjalankan dengan apa yang
disebut sebagai English Daily. Semua guru dan siswa dalam kegiatan belajar
mengajar harus berbicara dalam bahasa Inggris. Madrasah seperti Madrasah
Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam Al-Azhar, sekolah Islam Al-Izhar,
Sekolah Islam Insan Cendekia, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh
diantaranya.Kemampuan bahasa asing yang bagus di era globalisasi seperti
sekarang ini mutlak diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah dan
sekolah Islam itu kemudian tidak hanya memberikan pengetahuan bahasa Inggris
saja. Lebih dari itu, pengetahuan bahasa asing lainnya juga absolut diajarkan
oleh madrasah seperti bahasa Arab misalnya. Atau bahasa Jepang, Mandarin dan
lainnya pada tingkat Madrasah Aliyah. Di samping itu, dalam menghadapi era
globalisasi, madrasah sebagai institusi pendidikan Islam tidak lantas cukup
merasa puas atas keberhasilan yang telah dicapainya dengan memberikan
pengetahuan bahasa asing kepada para siswanya dan desain kurikulum pendidikan
yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh madrasah.
Akan tetapi, justru madrasah harus terus berpikir ulang secara berkelanjutan
yang mengarah kepada progresivitas madrasah dan para siswanya. Oleh karena itu,
dalam pendidikan madrasah memang sangat diperlukan pendidikan keterampilan.
Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan ekstra kurikuler atau
kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau kursus komputer, tari,
menulis, musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga kegiatan
olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur dan lain sebagainya.
Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan akan berguna ketika para siswa
lulus dari madrasah. Karena jika sudah dibekali dengan pendidikan keterampilan,
ketika ada siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih
tinggi seperti universitas misalnya, maka siswa dengan bekal keterampilan yang
sudah pernah didapatnya ketika di madrasah tidak akan kesulitan lagi dalam
upaya mencari pekerjaan. Jadi, kiranya penting bagi madrasah untuk
mengembangkan pendidikan keterampilan tersebut. Sebab, dengan begitu siswa akan
langsung dapat mengamalkan ilmunya setelah lulus dari madrasah atau sekolah
Islam. Namun semua itu tentunya harus dilakukan secara profesional.Dengan
adanya pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam atau madrasah, lulusan
madrasah diharapkan mampu merespon tantangan dunia global yang semakin
kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga tetap akan terjaga. Karena
ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak kalah
kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum.
Solusi yang ditawarkan
Solusinya adalah dengan mempertimbagkan kembali ide yang sebenarnya sudah
lama disuarakan oleh beberapa kalangan, yaitu adanya pendapat yang menginginkan
pendidikan satu atap di negeri ini. Seperti yang diungkapkan bahwa fenomena
penganaktirian madrasah sesungguhnya adalah konsekwensi dari pemberlakuan
dualisme manajemen pendidikan di negeri ini yang berlangsung sudah sejak lama.
Maka terkait dengan masalah dualisme pendidikan ini, ide tentang pendidikan
satu atap ini juga layak kembali dipertimbangkan.Menurut saya ketika semangat
otonomi pendidikan menjadi isu sentral dalam reformasi pendidikan nasional,
maka madrasah seharusnya include dalam semangat otonomi itu. Ada banyak alasan
ilmiah yang menguatkan bahwa otonomi pendidikan diyakini akan mendatangkan
kemaslahatan terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional di masa datang.
Masalahnya adalah sekalipun madrasah sesungguhnya bergerak di bidang pendidikan
yang sudah ditonomikan, selama ini madrasah berada dalam jalur birokrasi
Departemen Agama yang tidak diberikan wewenang otonomi, makaakibatnya jadilah
madrasah sebagai anak tiri oleh pemerintahan daerah.Sebagai pendidik saya
berkeyakinan bahwa pendidikan satu atap, dimana pendidikan hanya dikelola oleh
satu departemen, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, akan memberikan
dampak luar bisa kepada perkembangan madrasah pada masa datang. Apalagi UU
No.20/2003 telah menegaskan bahwa madrasah dalam banyak hal, seperti dalam hal
kedududukan, status, dan kurikulum sama persih dengan sekolah umum, maka secara
yuridis ide pendidikan satu atap ini sesungguhnya telah memiliki landasan hukum
yang sangat kuat.Pada tataran praktis, kalau ummat Islam khawatir memudarnya
idealisme pendidikan Islam di madrasah, kenapa tidak dibuka saja satu jurusan
baru di SMA, jurusan Pendidikan Agama Islam misalnya, yang khusus mengakomodir
keinginan peserta didik untuk mempelajari agama Islam secara lebih mendalam?
Apalagi bukankah juga sudah ada ribuan pesantern yang memfasilitasi keinginan
itu? Saya yakin wacana tentang “pendidikan satu atap ini” sangat debatable,
karena ada banyak kepentingan di situ. Tapi poin saya adalah semua kalangan
dalam pendidikan Islam tidak boleh berhenti mencarikan solusi terbaik agar
madrasah tidak terus menerus menjadi anak tiri, agar madrasah bisa “dipangku
ibu pertiwi” dalam makna yang sesungguhnya.
Daftar Refrensi
Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam. (2008). Kebijakan Departemen
Agama dalam Peningkatan Mutu Madrasah di Indonesia. Jakarta: Ditjen Penais
Departemen Agama.
0 komentar:
Pos kan Komentar Anda